Archive for September 2013

  • 10 USAHA BANGSA INDONESIA UNTUK MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

    2


    10 Usaha Bangsa Indonesia Mempertahankan Kemerdekaan


         1.       Pertempuran Surabaya
    Pada tanggal 25 oktober 1945 Brigade 49 dibawah pimpinan Brigadir Jenderal A W.S Mallaby mendarat dipelabuhan tanjung perak Surabaya. Brigade ini merupakan bagian dari devisi India ke-2, dibawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas melucuti tentara jepang dan menyelamatkan tawanan sekutu. Pasukan ini berkekuatan 6000 personil dimana perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang inggrisdan prajuritnya orang-orang Gurkha dari Nepal yang telah berpengalaman perang. Rakyat dan pemerintahan Jawa Timur di bawah pimpinan gubernur R.M.T.A Suryo semula enggan  menerima kedatangan Sekutu. Kemudian antara wakil-wakil pemerintahan RI dan Brigjen AW.S Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut.
                1)      Inggris berjanji mengikut sertakan Angkatan Perang Belanda
                2)      Disetujui kerjasama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman
                3)      Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancar
                4)      Inggris hanya akan melucuti senjata jepang
    Pada tanggal 26 oktober 1945 pasukan sekutu melanggar kesepakatan terbukti melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para tawanan Belanda diantaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamphlet-pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka. Rakyat Surabaya dan TKR bertekad akan mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak  akan menyerahkansenjata mereka.

    Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. Para pemuda dengan perjuangan yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan berhasil menguasai objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya dalah dengan mengepungdan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian melumpuhkan hubungan logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang gemilang walaupun dipihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober 1945 Bung Karno beserta Jenderal D.C Hawthorn tiba di Surabaya. Dalam perundingan antara pemerintahan RI dengan Mallaby dicapai kesepakatan untuk menghentikan kontak senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak sekutu. Dalam satu insiden, Jenderal Mallaby terbunuh.
    Dengan terbunuhnya Mallaby, pihak Inggris menuntut pertanggung jawaban kepada rakyat Surabaya. Pada tanggal 9 November 1945 Mayor Jenderal E.C Mansergh sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia  di Surabaya. Ultimatum  ini isinya agar seluruh rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya menyerahkan diri dengan senjata, mengibarkan bendera putih, dan dengan tangan diatas kepala berbaris satu persatu, jika pada pukul 06.00 ultimatum ini tidak di indahkan maka inggris akan akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, kekuatan laut dan udara. Ultimatum ini dirasa menghina terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh karena itu rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui pernyataan Gubernur Suryo.
     Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada tanggal 10 November 1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar No. 4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. pasukan sekutu dibawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu devisi infantry sebanyak 10.000-15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “mosquito” dan  “Thunderbolt”.
    Dalam pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik dari TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, maupun TKR laut dibawah komandan pertahanan Kota, Soengkono. Pertempuran yang berlangsung sampai akhir November 1945 ini rakyat Surabaya berhasil mempertahankan kota Surabaya dari gempuran Inggris walaupun jatuh korban yang banyak dari pihak Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal  10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hal ini sebagai penghargaan atas jasa para pahlawan di Surabaya yang mempertahankan tanah  air Indonesia dari kekuasaan asing.

    2.       Pertempuran Ambarawa
    Kedatangan sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel semula diterima dengan baik oleh rakyatkarena akan mengurus tawanan perang. Akan tetapi, secara diam-diam mereka bersama-sama NICA dan mempersenjatai para bekas tawanan perang Ambarawa dan Magelang. Setelah terjadi insiden di Magelang antara TKR dengan tentara Sekutu maka tanggal  2 November 1945  Presiden Soekarno dan BrigJend Bethtel mengadakan Perundingan gencatan senjata.
    Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mundur dari Magelang ke Ambarawa. Gerakan ini segera dikejar resimen Kedu Tengah  dibawah pimpipinan Letnal Kolonel M. Sarbini dan meletuslah pertempuran Ambarawa . Pasukan  Angkatan muda dibawah Pimpinan Sastrodihardjo yang diperkuat  pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta menghadang sekutu didesa Lambu.
    Dalam pertempuran di Ambarawa ini gugurlah Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Letnan Kolonel Isdiman, Komandan pasukan dipegang oleh kolonel Soedirman, Panglima Divisi di Purwokerto.
    Kolonel Soedirman mengkoordinir komandan-komandan sektor untuk menyusun strategi penyerangan terhadap musuh. Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil mengepung musuh yang bertahan dibenteng Willem, yang terletak ditengah-tengah kota Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di kepung. Kerena merasa terjepit maka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan Ambarawa menuju ke Semarang.


    3.       Bandung Lautan Api
    Pada tanggal 17 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Bandung. Pada waktu itu para pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjata dan kekuasaan dari tangan Jepang. Oleh Sekutu, senjata dari hasil pelucutan tentara Jepang supaya diserahkan padanya. Bahkan pada tanggal 21 November 1945, sekutu mengeluarkan ultimatum agar Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia paling lambat tanggal 29 November 1945 dengan alasan untuk menjaga keamanan. Oleh para pejuang, ultimatum tersebut tidak diindahkan sehingga sejak saat itu sering terjadi insiden dengan pasukan-pasukan Sekutu.
    Sekutu mengulangi ultimatumnya pada tanggal 23 Maret 1945 yakni agar TRI meninggalkan kota Bandung. Dengan adanya ultimatum ini, pemerintahan RI di Jakarta menginstruksikan agar TRI mengosongkan kota bandung, akan tetapi dari markas TRI Yogyakarta  menginstruksikan agar kota Bandung tidak dikosongkan. Akhirnya, para pejuang Bandung meninggalkan kota Bandung walaupun dengan berat hati. Sebelum meninggalkan kota Bandung terlebih dahulu para pejuang Republik Indonesia menyerang ke arah kedudukan-kedudukan Sekutu sambil membumihanguskan kota Bandung bagian Selatan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Bandung Lautan Api 

    4.  Puputan Margarana
    Salah satu isi perundingan Linggajati pada tanggal l0 November 1946 adalah bahwa Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali, ikut pula tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI. Sementara itu perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati di mana Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Rakyat Bali merasa kecewa terhadap isi perundingan ini. Lebih-lebih ketika Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946 I Gusti Ngurah Rai memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatan di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan rakyat Bali ini. Pertempuran hebat terjadi pada tanggal 29 November 1946 di Margarana, sebelah utara Tabanan. Karena kalah dalam persenjataan maka pasukan Ngurah Rai dapat dikalahkan. I Gusti Ngurai Rai mengobarkan perang “Puputan” atau habis-habisan demi membela Nusa dan Bangsa. Akhirnya I Gusti Ngurai Rai bersama anak buahnya gugur sebagai kusuma bangsa.

    5.   Peristiwa Westerling di Makassar

    Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan yang diangkat tahun 1945, Dr. G.S.S.J. Ratulangie melakukan aktivitasnya dengan membentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI). Organisasi yang bertujuan untuk menampung aspirasi pemuda ini pernah dipimpin oleh Manai Sophian. Sementara itu pada bulan Desember 1946 Belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Raymond Westerling. Kedatangan pasukan ini untuk “membersihkan” daerah Sulawesi Selatan dari pejuang-pejuang Republik dan menumpas perlawanan rakyat yang menentang terhadap pembentukan Negara Indonesia Timur. Di daerah ini pula, pasukan Australia yang diboncengi NICA mendarat kemudian membentuk pemerintahan sipil. di Makassar karena Belanda melakukan usaha memecah belah rakyat maka tampillah pemuda-pemuda pelajar seperti A. Rivai, Paersi, dan Robert Wolter Monginsidi melakukan perlawanan dengan merebut tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA. Selanjutnya untuk menggerakkan perjuangan dibentuklah Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan tokohtokohnya Ranggong Daeng Romo, Makkaraeng Daeng Djarung, dan Robert Wolter Monginsidi sebagai Sekretaris Jenderalnya. Sejak tanggal 7 – 25 Desember 1946 pasukan Westerling secara keji membunuh beribu-ribu rakyat yang tidak berdosa. Pada tanggal 11 Desember 1946 Belanda menyatakan Sulawesi dalam keadaan perang dan hukum militer. Pada waktu itu Raymond Westerling mengadakan aksi pembunuhan massal di desa-desa yang mengakibatkan sekitar 40.000 orang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban. Bagaimanakah pendapat kamu tentang tindakan Raymond Westerling tersebut?
    6.   Serangan Umum 1 Maret 1949
    Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada bulan Desember 1948 ibu kota RI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta beserta sejumlah menteri ditawan oleh Belanda. Belanda menyatakan bahwa RI telah runtuh. Namun di luar perhitungan Belanda pada saat yang krisis ini terbentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Buktitinggi, Sumatera Barat. Di samping itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mendukung RI sehingga masyarakat Yogyakarta juga memberikan dukungan kepada RI. Pimpinan TNI di bawah Jenderal Sudirman yang sebelumnya telah menginstruksikan kepada semua komandan TNI melalui surat Perintah Siasat No.1 bulan November 1948 isinya antara.
    lain:
    (1) memberikan kebebasan kepada setiap komandan untuk melakukan serangan terhadap posisi militer Belanda;
    (2) memerintahkan kepada setiap komandan untuk membentuk kantong-kantong pertahanan (wehrkreise); dan
    (3) memerintahkan agar semua kesatuan TNI yang berasal dari daerah pendudukan untuk segera meninggalkan Yogyakarta untuk kembali ke daerahnya masing-masing (seperti Devisi Siliwangi harus kembali ke Jawa Barat), jika Belanda menyerang Yogyakarta. Untuk pertahanan daerah Yogyakarta dan sekitarnya diserahkan sepenuhnya kepada pasukan TNI setempat yakni Brigade 10 di bawah Letkol Soeharto.
    Dengan adanya agresi Militer Belanda maka dalam beberapa minggu kesatuan TNI dan kekuatan bersenjata lainnya terpencar-pencar dan tidak terkoordinasi. Namun para pejuang mampu melakukan komunikasi melalui jaringan radio, telegram maupun para kurir. Bersamaan dengan upaya konsolidasi di bawah PDRI, TNI melakukan serangan secara besar-besaran terhadap posisi Belanda di Yogyakarta. Serangan ini dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 dipimpin oleh Letkol Soeharto. Sebelum serangan dilakukan, terlebih dahulu meminta persetujuan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Serangan Umum ini dilakukan dengan mengkonsentrasikan pasukan dari sektor Barat (Mayor Ventje Samual), Selatan dan Timur (Mayor Sarjono) dan Sektor Kota (Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki). Serangan umum ini membawa hasil yang memuaskan sebab para pejuang dapat menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam yakni jam 06.00 sampai jam 12.00. Berita Serangan Umum ini disiarkan RRI yang sedang bergerilya di daerah Gunung Kidul, yang dapat ditangkap RRI di Sumatera, selanjutnya dari Sumatera berita itu disiarkan ke Yangoon dan India. Keesokan harinya peristiwa itu juga dilaporkan oleh R. Sumardi ke PDRI di Buktitinggi melalui radiogram dan juga disampaikan pula kepada Maramis. (diplomat RI di New Delhi, India) dan L.N. Palar (Diplomat RI di New York, Amerika Serikat). Serangan Umum 6 Jam di Yogyakarta ini mempunyai arti penting yaitu sebagai berikut. Ke dalam : – Meningkatkan semangat para pejuang RI, dan juga secara tidak
    langsung memengaruhi sikap para pemimpin negara federal buatan Belanda yang tergabung dalam BFO. – Mendukung perjuangan secara diplomasi, yakni Serangan Umum ini berdampak adanya perubahan sikap pemerintah Amerika Serikat yang semula mendukung Belanda selanjutnya menekan kepada pemerintah Belanda agar melakukan perundingan dengan RI. Ke luar – Menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan untuk melakukan serangan; dan – Mematahkan moral pasukan Belanda.

    Peristiwa Merah Putih terjadi tanggal 14 Februari di Manado. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL Kompeni VII bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Februari 1946 mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan diseluruh Manado telah berada di tangan Republik Indonesia. Untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Waisan. 
    Bendera Merah Putih dikibarkan diseluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Februari 1946. Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubernur Sulawesi bertugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Ia memerintahkan pembentukan badan perjuangan pusat keselamatan rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tahun 1946, Sam Ratulangi ditangkap dan dibuang ke Serui (Irian Barat dan sekarang Papua)

    8.  Agresi militer I (1947)

    Dalam bulan november 1946 diselenggarakan perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda di Linggajati (Linggarjati), sebuah tempat peristirahatan disebelah Selatan Cirebon. Persetujuan Linggajati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, itu berisi antara lain :
    1.      Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara yang berbentuk federasi dengan nama RepublikInonesia Serikat (RIS).
    2.      Pemerintah RIS dan Pemerintah Belanda akan bekerjasama dalam sebuah perserikatan negara yang bernama Uni Indonesia- Belanda.
    Sesudah persetujuan Linggajati ditandatangani, hubungan RI-Belanda semakin memburuk. Oleh pihak Kolonis Belanda, Persetujun Linggajati memang hanya dianggap sebagai alat untuk memungkinkan mereka mendatangkan pasukan-pasukan yang lebih banyak dari negerinya. Setelah mereka merasa cukup kuat, mereka beralih kepada maksud semula, yaitu menghancurkan Republik Indonesia dengan kekuatan senjata. Untuk memperoleh dalih guna menyerang RI, mereka mengajukan tuntutan yang bukan-bukan seperti :
    1.      Supaya dibentuk pemerintah federal sementara yang akan berkukasa diselulruh Indonesia sampai pembentukan RIS yang berarti RI ditiadakan.
    2.      Pembentukan gandamerie (pasukan keamanan) bersama yang juga akan masuk ke daerah Republik.
    Dengan sendirinya Republik tidak mungkin menerima usul itu, karena akan berarti llikwidasi bagi dirinya. Dengan penolakan RI itu, Belanda lalu merobek-robek Persetujuan Linggajati dan pada tanggal 21 juli 1947 melancarkan Aksi Militer I kedalam wilayah kekuasaan RI.
    Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirirnkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
    1.      Membentuk pemerintahan bersama;
    2.      Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga bersama;
    3.      Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda;
    4.      Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama. termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama): dan
    5.      Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
    Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik. Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus “mengembalikan ketertiban” dengan “tindakan kepolisian”. Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan aksi polisionil’ mereka yang pertama. Polisionil adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli sampai 5 Agustus 1947 (aksi pertama) dan dari 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949 (aksi kedua).
    Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
    Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai ‘aksi polisional’ tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
    Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan agresi militemya secara serentak terhadap kedudukan RI di seluruh daerah de facto Republik. Serangan Belanda yang mendadak dengan persenjataan yang mutakhir dengan mudah menerobos garis-garis pertahanan TNI yang linier dengan persenjataan terbatas dan sederhana. Kedudukan-kedudukan Republik di Sumatera Ctara. Sumatra Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa, Timur serentak di serang. Kapal-kapal terbangnya menyerang dan membom landasan-landasan terbang serta daerah-daerah penting dan tempat-tempat yang dianggap sebagai pusat pertahanan militer.
    Di Jawa Barat Belanda mengarahkan dua divisi dan dengan cepat berhasil menduduki kota-kota penting. Pada hari kedua Cirebon jatuh ke tangan Belanda dan dalam waktu kira-kira satu setengah bulan, kecuali karasidenan Banten. semua kota-kota di Jawa Barat termasuk Garut dan Tasikmalaya mereka duduki.

    Persetujuan Renville dan Hijrah
    Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dan dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal  1 Aaustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
    Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
    Dewan keamanan PBB membentuk komisi yang dikenal sebagai KTN (Komisi Tiga Negara) dengan anggota-anggotanya Wakil Austalia. Belanda dan Amerika Serikat. Yang tugasnya adalah membantu mencari penyelesaian sengketa RI-Belanda. Di bawah pengawasan KTN, pada tanggal 6 Desember 1947 mulailah diadakan perundingan antara RI-Belanda bertempat di atas kapal perang Amerika Serikat VSS Renville yang berlabuh di Tanjung Priek.
    Perundingan berjalan sangat lambat namun pada tanggal 17 Januari 1948 tercapailah kesepakatan dan naskah persetujuan Renville di tandatangani. Salah satu isinya adalah keharusan bagi pasukan-pasukan RI untuk menionggalkan daerah-daerah kantong. Sehubungan dengan hal itu maka kesatuan-kesatuan TNI dan kesatuan-kesatuan bersenjata lainnya yang berada di kantong-kantong gerilya di Jawa Barat. Jawa Timur, Sumatera Timur dan tempat-tempat lain bergerak menuju daerah Republik.
    Demikianlah persiapan hijrah telah menyibukkan Divisi Siliwangi di Jawa Barat serta juga kesatuan-kesatuan TP. Pada tanggal 1 Februari 1948 kolonel T.B Simatupang (sekarang Letjan Pum) tiba di Tasikmalaya sebagai utusan Kementerian Pertahanan RI untuk membantu mengatur pelaksanaan hijrah. Ada sebagian kecil dari pasukan Siliwangi yang menyusup dengan berjalan kaki ke Banten menggabungkan diri dengan Brigade I Tirtayasa di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala yang tidak terkena oleh perintah hijrah karena mereka berada di daerah yang masih dikuasai R.I.
    Pada akhir tahun 1947 oleh salah seorang anggota KNIP diajukan suatu usul agar diadakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) dalam kalangan TNI. Usul ini terutama didasarkan pada pertimbangan ekonomis karena pada waktu itu keadaan semakin buruk akibat dari persetujuan Renville yang telah mempersempit wilayah Republik. Dengan reorganisasi ini diharapkan pengeluaran Negara dapat ditekan. Lebih-lebih pada waktu itu dirasakan bahwa ancaman bahaya dari pihak Belanda terhadap RI semakin besar. Untuk menghadapi segala kemungkinan perlu dibentuk pasukan yang mobilitas atau mudah digerakkan dan batalyon-batalyon teritorial. Maka pada tanggal 25 Maret 1948 dikeluarkan instruksi bentuk melaksanakan Rera.
    Untuk divisi-divisi yang tidak mempunyai teritorial karena hijrah (seperti divisi Siliwangi) dan kesatuan-kesatuan yang tidak dapat disusun dalam salah satu divisi yang ada dibentuklah suatu bagian yang otonom yaitu Kesatuan Reserve umum (KRU). Untuk member wadah pelajar jawa barat yang berada di daerah RI, dibentuklah oleh panglima Divisi Siliwangi KRU “W” Corps Pelajar Siliwangi (CPS) pada tahun 1948 di Solo.

    9.  Agresi militer belanda II (1948)
    Agresi Milner Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
    Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.
    Peristiwa agresi ini terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, dan penyerangan tersebut terjadi di kota Yogyakarta. Belanda menyerangnya dari segala jurusan dan telah menduduki kota tersebut.
    Penyerangan Belanda ini di karenakan pada pada tanggal 2 November 1948, Kementrian Penerangan RI menyangkal tuduhan Belanda tentang pelanggaran gencatan senjata. Tuduhan-tuduhan Belanda itu sama dengan sebelum aksi militernya tanggal 21-7-1947. Pada tanggal 4-11-1948, Perdana Mentri Hatta merrti atakan. bahwa suasana Indonesia-Belanda sangat buruk dan mengingatkan kepada keadaan sebelum tanggal 20 Juli 1947 (sebelum aksi militer Belanda D. Dan bersamaan dengan itu Nehru di Kairo menyatakan, bahwa ada satu kekuasaan kolonial menyerang Indonesia, hal ini akan menimbulkan reaksi berbahaya di India dan dunia lainnya.
    Banyak pihak rang terlibat dalam peristiwa ini, terutama Amerika dan Australia yang meminta supaya diadakan sidang istimewa dewan keamanan untuk membicarakan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia, bersamaan dengan waktu itu pula, apa yang dinamakan kabinet Negara Indonesia Timur. meletakkan jabatan sebagai protes atas agresi Belanda terhadap Republik Indonesia.
    Putusan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta tentang pemindahan kekuasaan : kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara, dengan perantaraan radio diberi kuasa untuk membentuk Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI) di Sumatra. Bersamaan dengan itu apa yang dinamakan Kabinet Pasundan, menyerahkan mandatnya kepada “Wali Negara” sebagai protes atas agresi Belanda terhadap Republik Indonesia.
    Pada tanggal 22 Desember 1948, KTN mengawatkan kepada dewan keamanan laporan yang isinya menyalahkan Belanda sebagai aggressor dan yang melanggar perjanjian. Pada tanggal 23 Desember 1948, Rusia mengajukan resolusi kepada Dev, an Keamanan mengecam Belanda sebagai aggressor. India dan Pakistan melarang pesawat KLM (Belanda) terbang di atas wilayahnya serta tidak diperkenankan mendarat disana. Pada tanggal 24 Desember 1948, dewan keamanan menerima Resolusi Amerika Serikat Diperintahkan dengan segera
    kepada Belanda dan Indonesia untuk menghentikan tembak-menembak dan membebaskan pimpinan-pimpinan republik yang ditawan. Pada tanggal 27 Desember 1948, Presiden Sukarno, Sultan Sjahrir dan H. Agus Salim ditawan di Brastagi. sedangkan Wakil Presiden Hatta di Bangka. Juga beberapa pimpinan­pimpinan lainn a lath mengalami hal yang serupa (ditawan di Sumatra).
    Pada tanggal 29 Desember 1948, pasukan gerilya menyerang pasukan Belanda di seluruh kota yogyakarta (serangan pertama). Pada tanggal 31 Desember 1948. Presiden Sukarno, Syahrir, dan H. Agus Salim oleh Belanda dipindahkan pengasinganya ke Prapat. Sebagai hasil diplomasi republic maka di New Delhi dari tanggal 20 sampai 23 Januari 1949 berlangsung koprensi Asia yang dihadiri oleh 21 Negara Asia dan Australia. Resolusi konprensi Asia tersebut tentang senaketa Indonesia-Belanda ini, berpengaruh besar kepada resolusi Dewan Keamanan PBB berikutnya.
    Mr. A. A. Maramis, Mentri Keuangan Republik yang sedang berada di New Delhi, di tunjuk sebagai Mentri Luar Negeri dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pada tanggal 24 Januari 1949, Resolusi konprensi New Delhi dikirim kepada Dewan Keamanan PBB, yang menuntut antara lain :
    1.      Pembebasan para pemimpin (pembesar) Republik Indonesia
    2.      Penarikan mundur Belanda dari Yogyakarta dan penarikan berangsuir­angsur tentara Belanda dari daerah-daerah yang diduduki sejak 19 Desember 1948.
    Pada tanggal 26 Januari 1949 Mr. Sjafrudin Prawiranegara memberi instruksi kepada Mr. Maramis, supaya mengusahakan dewan keamanan untuk mengirimkan peninjau militer KTN ke daerah-daerah yang masih dikuasai oleh Republik Sumatra.
    Sejak tanggal 31 Januari 1949, perlawanan terhadap Belanda makin hari makin meluas dan menghebat, terutama di seluruh pulau Jawa dan Sumatra. Pada akhir bulan Januari dan permulaan Februari 1949, pasukan republic sudah kembali ke kantong-kantong mereka semula (daerah-daerah asal), dan terus melakukan perang gerilya.

    10.       Pertempuran Medan Area dan Sekitarnya
    Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hasan yang diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oelh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatra dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di wilayah itu.
    Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan sekutu mendarat di Sumatra Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal E.T.D. Kelly. Serdadu Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan. Pasukan Sekutu membebaskan para tawanan tatas persetujuan Gubernur Teuku M. Hasan. Para bekas tawanan ini bersikap congkak sehinggga menyebabkan terjadinya insiden dibeberapa tempat.
    Achmad Tahir, seorang bekas perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR Sumatra Timur. Pada tanggal 10 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatra Timur terbentuk Badan-badan perjuangandan laskar-laskar partai.
    Pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda Medan agar menyerahkan senjatnya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan bertuliskan Fixed Boundaries Medan  Area di berbagai sudut pinggiran Kota Medan.
    Bagaimana sikap para pemuda kita ? mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang  dilakukan oleh pihak Sekutu dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat  tempur. Pada bulan April 1946 pasukan inggris berhasil mendesak pemerintahan RI ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus berjuang dengan membentuk Lasykar Rakyat Medan Area.
    Selain di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan BukitTinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arief. Dalam pertempuran ini pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian diseluruh Sumatra rakyat bersama pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.





    Ini adalah IPS kelas IX yang bab 3.. klo nggk salah ya.. :D
    Ini mungkin cukup bermanfaat bagi yg ada tugas dari sekolah... :-)
    Tapi aku jg minta maaf jka ada yg salah n kurang srekk di hati,,
    Mohon di maafkan..!!
    Terima kasih.. :-)
    twitter.com/GANEVI_IRAIKI << follow ya..!! 
  • Copyright © 2013 - Hyperdimension Neptunia

    ┏ Diary Note's ❤ GanevIraiki ┑ - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan