• Posted by : Unknown Jumat, 06 September 2013

    Cerbung : pemeran Coboy Junior n Winxs
    Cerbung lama n lawas, baru aku tulis
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .
    .


    Cerbung Part 4....

                    Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam.
                    Saat itu Bunda dan Ayahnya Iqbaal belum pulang karena ada urusan kantor. Sedangkan Teh Ody menginap di rumah teman untuk mengerjakan tugas.
                    Tapi Iqbaal masih terduduk lemas di lantai kamar madi. Iqbaal masih menangis dan menahan rasa sakitnya.
                    Lalu Iqbaal kembali ke tempat tidurnya. Bukannya tidur, tetapi malah menyandarkan dirinya ke tembok, sampai-sampai Ia ketiduran.
    -------------------- S  K  I  P --------------------
    #ruang makan, pagi#
                    Saat itu sudah ada Bunda dan Ayahnya Iqbaal.
                    “Selamat pagi semuanya?.” Sapa Iqbaal ke Bunda dan Ayahnya.
                    “Tumben bangun pagi?.” Kata Bunda Rike sambil melahap makanannya.
                    “Ya, seharusnya Bunda seneng kalo Iqbaal bangun pagi, dari pada kesiangan?.”
                    “Baal, kamu sakit ya?. Mukamu pucet banget. Ngak usah masuk sekolah aja, kita kedokter!.” Kata Bunda Rike khawatir pada anaknya.
                    “Nggak kok Bunda. Mungkin Iqbaal cuma kecapean aja. Tapi Bunda nggak usah khawatir ama Iqbaal!.” Kata Iqbaal langsung berpamitan kepada kedua orang tuanya.
                    “Ya udah. Hati-hati ya nak, di jalan!.” Tambah Om  Herry Ayah Iqbaal.
                    Seperti biasa, Iqbaal mengayuh sepeda kesayangannya dengan pelan menelusuri jalan yang sepi.
    ------------------- S  K  I  P --------------------
    #kelas 7C#
                    Saat itu Iqbaal tidak seperti biasanya, yang kadang selalu membagi leluconnya dengan sahabatnya termasuk Bella. Iqbaal lebih senang memili diam dan membaca buku comicnya.
                    Saat Bastian dan Aldi mengajak Iqbaal berbicara, Ia hanya terdiam saja. Dan itu malah membuat temannya menjadi khawatir.
                    Bahkan Bella saja yang disukai Iqbaal diajak berbicara, Iqbaal malah memalingkan mukanya. Dan saat pelajaran berlangsung, Iqbaal membuat gurunya menjadi bingung. Karena saat ditanya, Iqbaal hanya menjawab “Maaf, Pak. Saya tidak tahu.”. Dan itu tidak biasanya dilakukan oleh sijenius Iqbaal.
    -------------------- S  K  I  P --------------------
    #pulang sekolah#
                    “Baal, tunggu!.” Teriak Bella memanggil Iqbaal.
                    “Apa?. Ngapain loe mangil gua?.” Jawab Iqbaal sinis.
                    “Pliss, Baal!. Loe hari ini kenapa sih?. Cerita ama gua!. Gua tuh khawatir ama loe, Baal.” Kata Bella sambil menunjukkan raut wajah khawatir.
                    “Udah lah, Bella. Loe nggak usah khawatir ama gua!. Lebay banget sih?. Memangnya apa yang salah dari gua hari ini?. Coba!.” Jawab Iqbaal dengan marah.
                    Di lain hati Iqbaal “Maafin gua Bella!. Gua nggak bermaksud nyakitin hati eloe, apalagi bentak-bentak loe kayak gini. Gua jujur Bella, gua sakit. Dan gua nggak mau bikin orang yang gua sayang khawatir kayak gini. Maafin gua!.
                    “Iqbaal!.” Panggil Bella dengan nada lirih.
                    Lalu Bella meneteskan air matanya untuk Iqbaal.
                    “Nggak usah nangis deh, loe!. Bikin gua malah frustasi aja. Mendingan loe pulang aja!. Noh, sudah ditunngu sopir loe tuh.” Suruh Iqbaal sambil membentak Bella.
                    Iqbaal pun dalam hati juga menangis, karena nggak tahan dengan sikapnya sendiri.
                    Kemudian turun hujan lebat yang membasahi mereka berdua.
                    “Baal, gua suka ama loe...”

    ‘BersambunG’





     Kalo Nggak suka jangan dibully..!!!!
    Comant aja apa adanya..!!!!
    Tapi jangan terlalu menggenaskan..???
    Thanks... :-)


    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © 2013 - Hyperdimension Neptunia

    ┏ Diary Note's ❤ GanevIraiki ┑ - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan